Kontestasi politik yang sekarang ini sedang terjadi di Papua
adalah hasil dari proses transisi politik yang tidak tuntas dari zaman Orde
Baru ke era Reformasi. Di balik pengakuan Polri atas dana bantuan operasional
yang diterima dari PT Freeport, terdapat beberapa hal yang bisa dilihat dari
sebuah transisi rezim di sebuah negara seperti Indonesia. Dalam posisi yang
sekarang, Indonesia sebenarnya tidak pada tahapan transisi dari sebuah model
birokrasi yang otoriter menuju demokrasi liberal, tetapi lebih dari itu.
Pemerintahan Orde Baru tidak serta-merta hilang dengan sendirinya dan
tergantikan oleh elite reformis yang membawa semangat pembaharuan. Birokrat dan
kalangan bisnis yang banyak mendapat perlindungan dari rezim Orde Baru
mendapatkan kembali aliansinya dengan bermetamorfosis menjadi sebuah kekuatan
aliansi baru di dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Mengapa hal ini terjadi? Setidaknya ada dua penjelasan
rasional yang bisa menjadi penjawab fenomena Polri dan PT Freeport, khususnya
dalam konteks Papua. Pertama, semasa Orde Baru, PT Freeport termasuk di dalam
aliansi birokrasi-pemilik modal yang bersumbu di Cendana. Bukan hanya PT
Freeport, BUMN dan perusahaan swasta nasional lainnya juga termasuk dalam
aliansi ini. Mereka tidak hanya mendapatkan akses yang luar biasa terhadap
pasar (seperti Bulog, yang memonopoli kebutuhan pangan se-Indonesia), tetapi
juga mendapat kemudahan operasional, bahkan tidak pernah tersentuh oleh audit.
Kekuasaan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa
membuat aliansi yang terbangun ini mengkristal dan digunakan oleh rezim Orde
Baru sebagai “bahan bakar” dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu diingat
bahwa, selain mendapat keuntungan dari dekatnya pemilik modal dengan elite
birokrat, mereka (kalangan bisnis) harus membayar sebagian hasil dari
keuntungan operasional kepada Cendana (yang jumlah dan bentuknya bervariasi)
atau setidaknya mengirim laba perusahaan ke yayasan yang dipimpin oleh Soeharto.
Setelah Orde Baru lengser pada akhir periode 1998, pola
aliansi ini kemudian mencoba bertahan di tengah tekanan kaum reformis dan
agenda reformasi yang justru banyak dibantu oleh kekuatan asing, di antaranya
IMF dan World Bank. Anehnya, semakin orde reformasi lantang menyerukan
perubahan, aliansi ini tidak lantas bubar. Mereka menjelma menjadi aliansi baru
dan mengorganisasikan kembali kekuatan dalam sistem demokrasi yang belum
stabil. Apa buktinya?
Salah satu hal yang jelas terjadi adalah ketika desentralisasi
yang sudah dicanangkan sejak 2001 belum menunjukkan prestasi yang gemilang.
Terlepas dari keberhasilannya, banyak terjadi penyimpangan, tumpang-tindih
kewenangan pusat dan daerah, dan yang lebih parah adalah munculnya endemi
korupsi yang menyeret puluhan kepala daerah ke pengadilan. Dalam situasi yang
seperti ini, pola kedua pun terjadi, di mana aliansi yang dulu terbangun
mencoba memanfaatkan pola birokrasi yang tidak menentu ini (dalam masa
desentralisasi) untuk mengamankan kepentingan masing-masing.
Sebetulnya hal ini lumrah terjadi mengingat aktor bisnis
adalah pelaku pasar yang rasional. Tindakan mencari aman demi kelancaran
produksi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di Negara lain.
Pemerintah yang seharusnya muncul sebagai aktor independen, justru memihak
pemilik modal dan bukan lebih memfokuskan kepada peningkatan pelayanan publik.
Atau lain lagi, iklim investasi di Indonesia yang semakin tidak kompetitif
berperan besar dalam kasus keluarnya perusahaan-perusahaan asing dari
Indonesia. Lamanya perizinan, rumitnya birokrasi dan besarnya dana yang harus
dibayar kepada oknum birokrat menambah berat beban externalities dari
perusahaan perusahaan ini. Sehingga pilihan menjadi semakin sulit bagi
investor, bertahan dengan risiko peningkatan total biaya produksi dikarenakan
ongkos transaksi yang mahal atau menarik investasi dan keluar dari Indonesia.
Keduanya sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Dalam konteks otonomi, pelimpahan wewenang dari pusat ke
daerah tidak hanya dibaca sebagai pelimpahan tanggung jawab tetapi juga
pelimpahan kekuasaan. Bupati/ kepala daerah adalah raja kecil yang bisa
melakukan apa pun dalam wewenang mereka yang sangat besar. Kondisi karut-marut
ekonomi politik di Papua adalah lahan basah bagi oknum birokrat untuk menarik
keuntungan dari kalangan bisnis. Di sinilah istilah administrative patrimonial
mendapatkan tempat, di mana oknum dan elite penguasa menggunakan kondisi yang
tidak menentu untuk meraih keuntungan mereka. Singkatnya, investor mengambil
jalan pertama, yaitu menerima risiko atas tingginya ongkos transaksi.
Akan sangat proporsional apabila melihat institusi
pemerintah sebagai aktor pelayan masyarakat dan bukan hanya melayani pemilik
modal. Perlu juga dipertimbangkan untuk betul-betul melakukan pengawasan
melekat terhadap semua instansi pemerintah yang berurusan dengan ranah publik.
Setidaknya jangan sampai membuat ranah publik dan privat menjadi sesuatu yang
tidak jelas sehingga proses rent-seeking (pengambilan keuntungan) oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini terjadi lagi. Dalam kapasitasnya,
Polri tentunya adalah lembaga yang sangat kredibel dan mampu menjalankan
tugasnya demi pelayanan kepada rakyat Indonesia.